Kamis, 12 Maret 2009

Jazz dan Saya

Setelah membaca salah seorang blog teman, dimana ditulis setelah menghadiri salah satu perhelatan akbar jazz di Ibukota yang saking akbar dan happeningnya dapat membuat beberapa orang merasa kurang “gaul” dan kekinian jika tidak menghadirinya, saya merasa gatal dan ingin berbagi mengenai sebuah era dalam hidup saya.Pertama kali saya mendengarkan jazz adalah ketika kelas 2 SMP. Dimana salah seorang teman saya yang belajar bermain gitar bossanova sering sekali memainkan ‘Misty’ versi bossanova dan saya gatal untuk mnyanyikannya. Akhirnya saya mencari cari lagu misty (saya mendapatkan versi Julie London), merekamnya ke dalam kaset rekaman (saat ini masih jaman2nya kompilasi kaset rekaman buatan sendiri,apalagi ketika valentine dan ulang tahun para gebetan) dan mencari liriknya dengan cara mendengarkan berkali2 lalu mencatat setiap kosakata yang saya tangkap hanya agar bisa bernyanyi nyanyi bersama teman saya =P *Ayu Vidya Jayantara semoga anda masih ingat momen momen ini*.

Namun diluar itu, Ada sebuah era dalam hidup saya yang ingin saya ceritakan. Dimana saya hanya mendengarkan jazz dengan segala keindahannya. Well, tidak semua jenis jazz juga bisa saya dengarkan. Kebanyakan yang saya bisa dengarkan adalah musik musik jazz yang cenderung kaleum dan beberapa jazz berbau elektronik yang sedikit chillin’ out. Saya tidak bisa mendengarkan jazz fusion yang ribet belibet karena rupanya insting musikal saya tidak nyampe kesitu.Mungkin karena saya bukan seorang player (player instrumen musik loh ya..bukan player terhadap lawan jenis). Favorit saya adalah jazz standar atau jazz mainstream dengan vocal. Apalagi yang berbau brazilian jazz atau bossanova. I love it! Saya pun sempat terjebak ke dalam lingkaran setan penasaran “apakah itu musik jazz?” dan kehidupan saya sempat didominasi oleh alunan genre itu. Mulailah saya memilah2 musik jazz yang saya sukai dari keseluruhan 40 GB koleksi mp3 jazz yang saya dapatkan dari seorang teman, mendatangi acara acara jazz local di kota Bandung, hingga saking penasarannya saya pernah mengikuti klinik vocal jazz yang diadakan oleh Imam Pras di Studio Aru. Disitulah saya mengenal vokalis vokalis handal dalam scene Jazz Kota Bandung seperti Adhiella dan Bubu “Beyonce” Contra Indigo. Klinik tersebut sangat menyenangkan, dan tidak seperti klinik vocal lain yang mempelajari tehnik2 bernyanyi, klinik tersebut hanya melakukan repertoire repertoire jazz secara bersamaan sambil membaca Real Book masing masing (Oh Tuhan saking penasarannya saya bahkan berinisiatif untuk memiliki sebuah Real Book). Tehnik bernyanyi yang sering dibahas hanyalah cara cara melakukan Scat Singing. Sayangnya karena kesibukan kerja, Mas Pras tidak dapat meneruskan klinik vocal jazz tersebut.

Pada waktu itu Jazz Mainstream terasa seperti bintang di malam hari. Cahayanya yang indah dan sedikit redup memberikan rasa sedih tertentu yang anehnya menyenangkan untuk dinikmati. Rasanya seperti cinta yang bertepuk sebelah tangan dan rasa sakit hati ditinggal mantan kekasih ditumpuk tumpuk menjadi satu,hahaha *atau mungkin ini lebay nya saya aja karena memang mengalami kedua hal tersebut pada era era ini, well entahlah*. Yang jelas mainstream jazz saat itu terasa indah dan keindahannya sangat sulit dimengerti. Ada beberapa musisi favorit saya seperti Ella Fitzgerald yang menjadi dedengkotnya vokalis wanita jazz standar, Astrud Gilberto, wanita cantik masa kini, Diana Krall, dan tentu saja Chet Baker dengan “Just Friends”nya . Kehadiran Michael Buble setelahnya yang walau saat itu digandrungi para wanita seumur saya menjadi terasa biasa2 saja bagi saya karena Chet has got his own way first straight into my heart,ahahay. Ada lagi seorang wanita bersuara semanis gulali dan seempuk bantal yang menjadi soundtrack harian saya. Wanita itu bernama Elis Regina. Ia dan astrud Gilberto banyak menyanyikan karya karya musisi besar dunia, Antonio Carlos Jobim.

Elis Regina dengan sangat baiknya menggambarkan keindahan dan kepedihan dari Jazz. Misalnya “triste” yang berarti sedih dalam bahasa indonesia. Selain “triste” ada juga yang lebih menusuk nusuk hati tetapi mencandu sekaligus. Judulnya adalah “So Tinha De Ser Com Voce”. Yang jelas pada saat itu kombinasi Jobim + Elis Regina = The Best. Saya sampai penasaran apakah jobim sempat punya kebiasaan memacari vokalis2nya yang bersuara indah indah tersebut.

Setelah era Jazz Standard, saya mulai beralih ke musik musik electro jazz yang lebih mudah dicerna Seperti Sova pada album “Tempo Tantrum” sebagai lanjutan dari kecintaan saya pada cafĂ© del mar ketima jaman jaman smu dulu. Mendengar anaknya Astrud ikut bernyanyi, sayapun ikut mendengarkan satu album penuh Bebel Gilberto yang diremix dan memuat remixan yang ok dari “Aganjo”.

Setelah era peralihan dari mendengarkan Jazz Standar ke Electro jazz yang lebih ringan, saya pun kembali mendengarkan lagu lagu rock kontemporer dan semua musisi happening saat itu seperti Ladytron, Sparta, dan YYY’s. Usai sudah Era Jazz dalam hidup saya.

Kini,entah mengapa jazz terasa sulit sekali untuk didengarkan. Keindahannya menjadi sama sekali asing bahkan Elis Regina sekalipun. Saya memilih untuk melupakannya. Dan kembali kepada kebiasaan mendengarkan saya yang semula. Selamat tinggal Elis Regina.